watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

TARIAN SEPENUH JIWA

Dengan rambut yang kini meriap menyentuh
bahu, hidung bangir yang tegak di antar dua
mata bak telaga bening, dan bibir basah yang
selalu siap menyungging senyum, Rien adalah
Dang Hyang Tari: seorang queen of the dance
terkenal di ibukota. Apalagi ia adalah juga
pencipta, seorang koreografer ulung yang
mencampurkan tradisi dan modernisasi. Satu
tariannya, The Cocoon mengundang pujian
setinggi langit dari para kritikus dalam dan
luarnegeri. Itulah tarian sepenuh jiwa tentang
kempompong yang berubah menjadi kupu-
kupu.
Di bawah sorot tunggal lampu panggung yang
kosong (kecuali oleh sebuah pohon hidup setinggi
satu setengah meter di tengahnya), Rien
meliukkan tubuhnya yang terbungkus kain putih
sekujur badan, dari ujung kaki sampai ujung
kepala. Gerakannya aneh, sekaligus magis karena
ada warna tarian wilayah Indonesia Timur, sedikit
Bali, ditambah sedikit gerakan Serampang
Duabelas, juga penuh lentingan-lentingan yang
sulit ditiru. Seperti tari-tari balet modern. Kadang-
kadang ia meliuk ke belakang sampai
punggungnya hampir menyentuh lantai
panggung; lalu memutar sambil menjulur ke atas
dalam gerakan lembut; lalu tangannya terentang
menerobos keluar dari balutan kain; lalu kelima
jarinya merentang dan bergerak cepat seperti
digetarkan oleh motor listrik. Satu cincin yang
dipakai di jari tengahnya, berkerejap-berkilau
bagai pemantik laser.
Penonton kerap bertepuk tangan. Kritikus tari
duduk terpana di baris depan. Media massa
segera meliput kemana pun ia pergi. Namanya
pun melejit: Rienduwati, Ratu Baru Dunia Tari.
Sebuah stasiun televisi mewawancarainya di
belakang panggung. Wajahnya sumringah masih
berpeluh. Tubuhnya yang agak kurus tetapi
padat-berisi, terbungkus ketat oleh baju kaos dan
celana panjang hitam. Matanya itu….. Ya,
matanya terus berbinar sepanjang wawancara.
Dan ia bercerita tentang kegairahan mencipta
tarian-tarian modern yang tak sepenuhnya
melupakan tradisi lokal. Bercerita tentang karya
monumentalnya, The Cocoon itu. Konon itulah
pula ekspresi jiwanya.
“Mengapa harus kepompong, Mbak Rien?” tanya
si pewawancara, seorang gadis muda yang
tampak sekali mengagumi tokoh yang
diwawancarainya.
“Ya, dia itu, kan, menjelma dari tidur panjang
penuh penantian, ke kemerdekaan yang bisa
membuatnya terbang. Aku menyimpulkan
metamorfosa itu sebagai suatu yang megah,
sekaligus rumit. Bayangkan saja, betapa bedanya
antara ulat yang uget-uget, lalu kepompong yang
patuh dan diam, lalu kupu-kupu yang indah!” kata
Rien bersemangat, dalam satu tarikan nafas yang
panjang.
Si pewawancara agak menganga, dan sempat
dua atau tiga detik lupa mengajukan pertanyaan
berikutnya. Untunglah Rien sangat santai, dan
malah bercanda menepuk lengan
pewawancaranya sambil berucap, “Begitulah kira-
kira, jeng!”
Demikianlah nama Rien semakin mencuat.
Apalagi kemudian ia sering menari di pusat-pusat
kebudayaan asing di ibukota. Tak lama setelah
debut-nya di Gedung Kesenian, Rien pun
berkeliling Eropah selama satu bulan penuh;
menari di beberapa festival di Jerman, Perancis,
Inggris dan Italia. Usianya masih sangat muda
untuk ukuran koreografer sekaliber itu. Ia sedang
menapak angka 30. Tetapi kalau melihat
penampilannya yang ceria, segar, dan enerjik,
orang pasti menyangka ia baru berusia 20-an.
Dan ia masih melajang walau sudah tinggal di
apartemen mewah dan punya sebuah BMW
hadiah sepasang suami-istri pengusaha Jerman
yang terkagum kepadanya.
Beberapa kali pria mencoba mendekatinya, tetapi
ditampik dengan halus. Alasan terkuat yang
diajukan Rien adalah: ia terlalu sibuk dengan
sanggar dan tariannya. Dan memang ia sangat
sibuk di tahun-tahun pertama karirnya. Setelah
The Cocoon, ia menciptakan dua karya cemerlang
lagi. Satu diberi judul Padi - Kapas, ditarikan
berpasangan dengan seorang penari pria asal
Riau. Satu lagi bernama Serambi Para Gadis yang
dinarikannya bersama 6 penari pengiring wanita.
Kalau The Cocoon mengesankan kecanggihan
Rien sebagai penari tunggal, maka dua karya
lainnya ini memastikan Rien sebagai koreografer
yang telah matang.
Tetapi setelah beberapa saat menjadi lajang paling
populer seantero ibukota, Rien akhirnya luluh
juga. Ada seorang pria yang mendekat
kepadanya, dan koran atau majalah mulai
bergosip tentang mereka. Namanya Tiyar,
seorang gitaris kelompok jazz yang berjumpa-
pandang dengan ratu tari itu pada sebuah acara
kesenian yang diadakan Pusat Kebudayaan
Jepang. Tiyar adalah pemuda berdarah
campuran. Ibunya orang Jepang. Ayahnya
seorang Indo-Belanda. Oleh sebab itu ia
bertampang unik, dengan mata Eropa yang
kebiruan tetapi rambut Asia yang hitam legam.
Semua orang bilang ia cute. Maka ia pun punya
rasa percaya-diri yang cukup melimpah. Maka ia
pun dengan gagah menegur lebih dahulu sambil
memandang takjum sekaligus takjim.
“Halo, tarian Anda sungguh mengagumkan…,”
katanya sambil mengacungkan tangan untuk
bersalaman.
Rien memandang pemuda bercelana jeans dan
berkaos putih di depannya, dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Lalu ia tersenyum, tetapi tidak
menyambut tangan yang telah tersodor.
“Saya Tiyar, gitaris yang sebentar lagi
manggung..,” kata Tiyar tetap gagah berani,
walau tangannya terpaksa ditarik kembali.
“Saya Rien, penari yang baru turun dari
panggung,” jawab Rien ringan sambil melap
lehernya dengan sapu tangan. Harum semerbak
menyebar dari setangan tipis itu.
“Riendu. Saya sudah tahu nama Anda. Semua
orang sudah tahu,” kata Tiyar masih dengan gaya
penuh percaya diri.
“Apakah orang juga tahu nama Tiyar?” ucap Rien
yang tiba-tiba ingin mencandai pemuda cakep
yang … ah, kenapa ia tiba-tiba ingat seorang
pemuda secakep ini di masa lampaunya, di
kampung sana?
Tiyar tersipu, “Wah, pasti belum banyak yang
tahu saya,” katanya sambil melangkah
merendengi Rien yang menuju kamar ganti
pakaian.
“Ini jalan menuju kamar ganti, lho..,” kata Rien
santai, “Kalau panggung, ke arah yang
berlawanan.”
Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal,
“Saya mau menanyakan sesuatu kepada Anda,”
katanya sambil terus merendengi Rien. Beberapa
kru band melihat ke arah mereka, dan salah
seorang bersuit-suit menggoda.
“Oh! .. saya kira mau minta tandatangan,” kata
Rien lagi sambil tertawa kecil. Boleh, dong, sekali-
kali menggoda pemain band, ucapnya dalam hati.
“Berapa nomor telepon rumah Anda?” tanya
Tiyar sebelum keberaniannya hilang.
Mereka sudah sampai di depan kamar ganti
khusus untuk Rien, dan wanita itu membalikkan
badan menghadapi Tiyar yang kini terdiam
menunggu jawaban bagai seorang terdakwa
menunggu keputusan hakim.
“Mau mengajak makan malam?” tanya Rien
dengan ringan, seakan-akan bertanya kepada
seorang yang sudah dikenalnya lama. Tetapi
justru pertanyaan seperti ini yang tidak diduga
oleh Tiyar.
“Eh.. ah, bukan begitu,” ucap pemuda itu gugup,
“Saya cuma ingin tahu nomor telepon…”
Rien tersenyum manis dan penuh godaan.
Rasain! sergahnya dalam hati sambil berbalik dan
masuk ke ruang ganti. Lalu sambil tetap
tersenyum ia melirik sekali lagi ke Tiyar yang
terpaku di depan pintu. Lalu ia tutup pintu kamar
gantinya. Tiyar pun hilang dari pandangan mata.
Kalau memang ia memerlukan nomor teleponku,
pikir Rien, biarlah ia berusaha sedikit lebih keras.
*****
Dan berusahalah Tiyar lebih keras. Agak sulit
mulanya, karena Rien memang tidak mengumbar
nomor telepon pribadi. Dia biasa dihubungi di
sanggarnya. Karena itulah Tiyar ke sana. Berkali-
kali ke sana, hanya untuk menunggu Rien
berhenti melatih atau berlatih. Sudah dua kali ia
datang, tetapi Rien masih harus melatih anak
buahnya. Tiyar pulang dengan tangan hampa.
Pada suatu hari ia menunggu tak kurang dari 1
jam, hanya untuk kecewa karena sebuah stasiun
televisi Jerman ternyata punya janji wawancara.
“Tetapi saya sudah di sini sejak 1 jam yang lalu,
Rien!” protes Tiyar ketika Rien dengan ringannya
melambaikan tangan sebelum menuju kolam ikan
di bawah pohon perdu, tempat ia menerima kru
televisi Jerman itu.
“Aku tahu,” ujar Rien sambil menembakkan lirik
matanya yang bisa menumbangkan beringin itu.
“Lalu, musti menunggu berapa lama lagi?” kejar
Tiyar.
“Dua, ….. mungkin tiga, mungkin empat jam,”
jawab Rien ringan. Langkahnya gemulai tetapi
cukup cepat untuk membuat Tiyar tergopoh-
gopoh di belakangnya.
Tiyar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sial,
umpatnya dalam hati, dua jam lagi aku janji
latihan band.
Kru televisi kemudian mengatur berdiri Rien,
dekat sebuah patung batu di pinggir kolam. Suara
gemercik air terdengar lamat-lamat. Sinar mentari
tak terlalu banyak, tetapi ada beberapa lampu
sorot dan reflector yang dibawa khusus untuk
memberi efek cahaya sempurna. Seorang juru
rias dengan sigap memupuri muka Rien yang
berdiri patuh. Sementara Tiyar berdiri di
kejauhan, masih bimbang apakah akan
menunggu atau mengulang usahanya besok.
Rien memandang pemuda itu berdiri di bawah
sebuah pohon. Ketika itulah, ketika melihat pohon
itu, …. melihat seorang pemuda berdiri di
bawahnya dengan wajah penuh harap…. Rien
tiba-tiba teringat lagi seseorang dari masa lalunya.
Suasananya mirip: latihan menari, dan seseorang
yang menunggu! Ingatan itu seperti menyelinap
dan muncul tiba-tiba di depan mata-hatinya.
Ingatan itu juga seperti sebuah cubitan; tidak sakit,
tetapi cukup menyengat. Sebuah perasaan hangat
yang sulit dicerna tiba-tiba memenuhi dadanya.
Di manakah dia sekarang? bisik Rien dalam hati.
Tiyar melihat Rien memandang ke arahnya.
Pemuda itu menoleh ke belakang. Ia ragu-ragu,
benarkah wanita mempesona itu sedang
memandangnya, atau pohon di belakangnya?
Ketika pasti bahwa tidak ada siapa-siapa di
belakangnya, kecuali sebuah pohon yang tak
begitu menarik, Tiyar menoleh kembali ke Rien.
Dan Rien tersenyum. Jantung Tiyar berdegup
setengah kali lebih cepat dari sebelumnya. Cepat-
cepat ia membalas senyum itu. Dan Rien
tersenyum lebih lebar lagi, memperlihatkan
sederet giginya yang bak mutiara itu. Wahai,
Tiyar seperti disiram air sejuk di tengah siang
yang kerontang ini. Lalu bibir Rien bergerak,
mengucapkan sesuatu tetapi tak terdengar.
“Apa?” tanya Tiyar dengan suara keras, membuat
semua orang menengok ke arahnya.
“Besok!” teriak Rien membalas, dan semua orang
menengok ke arah wanita itu.
“Apanya yang besok?” teriak Tiyar. Semua orang
menengok ke pemuda itu lagi.
“Besok jam 4 sore. Aku tunggu di sini!” sahut
Rien. Semua orang tidak menengok ke wanita itu
lagi, melainkan memandang pemuda itu.
Menunggu reaksinya.
Tiyar berpikir cepat. Besok ada janji dengan salah
satu majalah musik. Bisa ditunda! Maka cepat-
cepat ia mengepalkan tinju, lalu membuat
gerakan membetot dengan tangannya sambil
berteriak “Yes!”
Rien tertawa renyai melihat tingkah pemuda itu.
Semua orang ikut tertawa. Pemimpin kru televisi
bahkan bertepuk tangan. Juru rias sejenak
menggeleng-gelengkan kepalanya. Kameraman
yang bertolak-pinggang dan berwajah angker itu
pun ikut tersenyum. Tiyar was terribly happy!
*****
Begitulah akhirnya Tiyar menjadi pacar Rien
setelah delapan makan malam, satu kencan di
disko, dan satu kali pergi bareng ke salah satu
pulau di Kepulauan Seribu.
Sekarang, kemana pun Rien manggung, pasti ada
Tiyar. Kemana pun band Tiyar menggelar jazz-
rock-nya, ke sanalah Rien pergi. Pasangan itu
tampak serasi. Yang satu tampak gagah dengan
tubuh selalu terbungkus t-shirt putih bersih. Yang
satu tampak cantik walau juga cuma dibungkus t-
shirt ungu atau hitam. Keduanya selalu memakai
celana jeans. Konon, setiap membeli jeans, pasti
sepasang. Media massa sibuk membuat
spekulasi. Pertanyaannya satu: kapan mereka
menikah?
Padahal usia mereka terpaut hampir 3 tahun.
Seorang jurnalis iseng mengangkat topik ini,
tetapi ia didamprat redakturnya. Kata redakturnya
yang berkaca-mata tebal dan berusia hampir 60
tahun itu, jangan memancing kemarahan
pembaca yang tidak peduli pada usia, dan yang
ingin terus membaca kisah dewa-dewi. Maka
sang jurnalis yang baru berusia 25 tahun itu
dengan cemberut menghapus alinea-alinea yang
menyoal usia Rien dan Tiyar.
Tetapi sesungguhnyalah soal usia ini jadi topik
cukup hangat di antara mereka berdua. Misalnya,
pada sebuah malam penuh bintang, ketika
dengan manja Rien duduk di pangkuan Tiyar di
tepi pantai, pemuda itu berbisik di telinganya,
“Kapan aku bisa menyusul usia kamu?”
“Kalau kamu sudah bisa beli mesin waktu!”
sergah Rien sambil mengucek-ucek rambut
kekasihnya.
“Berapa harga mesin waktu?” bisik Tiyar sambil
mencium leher Rien yang selalu semerbak itu.
“Tanya saja di tokonya,” kata Rien sambil
mendorong tubuhnya ke belakang, menyandar
sepenuhnya ke dada Tiyar yang kokoh dan
bidang itu.
“Bagaimana kalau kamu saja yang mengurangi
usiamu?” kata Tiyar sambil melingkarkan
tangannya di pinggang Rien. Hmm.., nyaman
sekali mendekap tubuh kekasih di depan debur
ombak dan di bawah sejuta bintang.
“No way!” sergah Rien sambil mencubit lengan
kekasihnya gemas.
“Aduh! Kenapa harus mencubit, sih?!”
“Gemes! Kamu suka tanya-tanya yang tidak bisa
dijawab!” sergah Rien mencubit lagi.
Tiyar mengaduh lagi. Juga mengaduh dalam hati,
karena sesungguhnya ia agak risau dengan
perbedaan usia. Seorang rekan satu band pernah
bertanya menyindir, apakah enak menjadi daun
muda. Kalau itu bukan si Gatot yang ototnya
diperlukan untuk menabuh drum, pasti Tiyar
sudah meninjunya!
Rien juga tahu apa yang di-aduh-kan Tiyar. Maka
ia membalikkan tubuhnya, duduk di pangkuan
Tiyar sambil menghadapnya. Kedua tangannya
dikaitkan ke leher pemuda itu. Pandangan mereka
beradu. Rien tersenyum, lalu mengecup bibir
pemuda itu sekilas.
“Kamu risau soal usia lagi, ya!?” ucap Rien
setengah berbisik.
Tiyar mengangguk sambil memandang dua
telaga bening di depannya. Oh, sejuk sekali telaga
itu. Bisakah ia berenang di sana?
“Kenapa musti risau?” tanya Rien lagi sambil
mengecup ujung hidung pemuda itu dengan
lembut.
“Karena aku ingin menikahimu,” kata Tiyar tegas.
Ini adalah kali ketiga ia mengatakan kalimat yang
persis sama, kata demi kata.
Rien tertawa renyai. Ia sudah bisa menduga
jawabnya. Dan ia juga sudah selalu
menjawabnya dengan tak kalah tegas, “No way,
Hosey!”.
“Apakah karena aku lebih muda?” desak Tiyar.
“Bukan-bukan-bukan,” kata Rien sambil
berdendang. Ada lagu dang-dut yang berisi lirik
itu. Rien suka menggoda Tiyar dengan
mengatakan bahwa dang-dut lebih mudah
dicerna daripada lengkingan gitar jazz.
“Ayolah kita menikah, Rien!” ujar Tiyar sambil
merengkuh tubuh kekasihnya, lalu mencium
bibirnya yang ranum itu. Rien sejenak gelagapan.
Ia melepaskan diri dengan mendorong sekuat
tenaga.
“Kamu mengajak menikah seperti mau
memperkosa!” sergah Rien sambil tertawa.
“Sekarang aku yang gemes. Ayo kita kawin!” kata
Tiyar mencoba mencium lagi, tetapi gagal.
“Jangan di sini,” kata Rien sambil tertawa nakal.
Tiyar semakin gemas. Direngkuhnya kuat-kuat
tubuh mungil yang sintal-padat itu. Diciumnya
bibir merekah-basah yang menggairahkan itu.
Dilumatnya sepenuh hati. Dibuatnya Rien
mengerang-mendesah. Tiyar tidak peduli dan
terus mencium. Panjang dan lama sekali ciuman
itu. Kira-kira 12 menit 32 detik.
“Pulang, yuk?” bisik Rien dengan nafas memburu
ketika ciuman mereka usai.
“Your place or mine?” bisik Tiyar juga dengan
nafas memburu.
“Ke sanggar saja!” desah Rien. Itu adalah
permintaan yang tak mengherankan Tiyar.
Wanita pujaannya ini punya sebuah kamar yang
mirip gua pertapaan di sanggarnya. Di sana cuma
ada kasur berlaskan tikar rotan Kalimantan.
Seluruh lantainya ditutupi tikar pandan dengan
corak tradisional, berwarna hijau-kuning-merah
yang agak kusam. Dindingnya dihiasi berbagai
kain tenun Sumbawa. Ada pula sebuah kain
tenun Sumatera Barat terselampir seenaknya. Di
pojok ruangan ada dudukan lampu setinggi satu
meter, terbuat dari padas. Kalau lampu
dinyalakan, cahayanya hanya temaram saja,
seperti lampu sentir minyak tanah di desa-desa.
Di salah satu dinding ada cermin besar yang bisa
memantulkan seluruh isi ruang. Di kamar itulah
Rien mencipta banyak tarian, termasuk tiga
masterpieces-nya.
*****
Di “gua pertapaan” Rien itulah mereka juga sering
bercinta dan bercinta lagi.
Rien menumpahkan segala kegairahan
badaniahnya di atas tubuh kokoh kekasihnya. Ia
seperti tak letih-letihnya menggumuli tubuh yang
dengan sukahati melayani segala permintaannya
itu. Bagi Rien, pemuda ini adalah lover boy yang
mengagumkan. Dengan pemuda inilah ia bisa
mengarungi samudera sensual yang penuh
dengan puncak-puncak ombak kenikmatan itu. Ia
bisa leluasa duduk di pinggul pemuda itu,
merasakan dirinya bagai dipancang-tegak oleh
kekuatan yang nyaris tak pernah sirna. Ia bisa
bebas bergerak, bahkan menarikan tarian erotik,
di atas tubuh yang berpeluh itu. Lagi dan lagi ia
merengut puncak demi puncak kenikmatan, yang
makin lama makin tinggi menggapai langit birahi.
Sejak berpacaran dengan Tiyar, ada sesuatu yang
terbangkit di diri Rien. Entah betul, entah tidak.
Gairah sensual Rien selalu menggebu pada
percumbuan mereka. Anehnya, setiap kali
sehabis bercinta dengan pemuda itu, selalu
datang inspirasi indah untuk sebuah tari.
Seringkali setelah pemuda itu pulang, setelah Rien
puas tergeletak di kasur percintaan mereka,
datang ide untuk gerakan-gerakan tari. Lalu,
malam-malam, atau pagi-pagi sekali, Rien bangun
untuk mematangkan ide itu. Bertelanjang dada ia
menari sendirian di depan cermin, mencoba
gerakan-gerakan baru dan mencatat setiap gerak
yang telah ia rasakan sempurna.
Apakah semua seniman begitu? Apakah semua
seniman memakai sumberdaya seksual untuk
pemicu daya cipta? Mungkinkah ada hubungan
antara orgasme dan ide yang cemerlang? Ah,
pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab
oleh Rien. Ia juga akhirnya tak peduli, dan tak
pernah mau mencoba membuktikan benar-
tidaknya. Ia terus saja berkarya, dan terus pula
bercinta.
Tiyar pada mulanya terkejut ketika mereka
pertama-kali bercinta, kira-kira empat bulan yang
silam, atau tiga bulan setelah perkenalan mereka.
Tidaklah ia menyangka bahwa wanita cantik yang
cerdas dan kreatif itu ternyata adalah seorang
petualang sensual di atas ranjang. Tiyar pada
awalnya berlaku sopan dalam bercinta, berusaha
menunjukkan bahwa ia tidak mengejar badan
melainkan hati wanita itu. Tetapi setelah dua kali
bercinta, Tiyar tak peduli lagi. Ia pun melayani
saja segala permintaan Rien, betapa pun liar dan
sensualnya permintaan itu.
Seperti malam ini, di awal percumbuan, Rien
berbisik serak, “Eat me, please…”. Dan Tiyar pun
dengan senang hati memenuhi permintaan itu.
Dan wanita itu mengerang-erang menikmati tiga
kali puncak kenikmatan. Tubuh bagian atasnya
masih terbungkus lengkap. Hanya dari pinggang
ke bawah yang terbuka-bebas. Sebuah kursi
rotan dibawa masuk kamar, khusus untuk itu.
Dan di atas kursi itu Rien menggelepar-geleparkan
orgasmenya sambil merintih-memohon agar
Tiyar melakukannya lagi dan lagi. Ia minta
dikulum. Ia minta digigit-gigit kecil. Ia minta
ditelusupi-ditelusuri. Ia minta ini, ia minta itu.
Semua diberikan oleh Tiyar.
Lalu, lama setelah itu, Rien minta digendong ke
kasur yang tergeletak dingin di lantai. Di situ ia
minta Tiyar melumat-luluh-lantakkan tubuhnya
yang telah telanjang sepenuhnya. Di situ mereka
bergumul kekiri-kekanan, depan-belakang, atas-
bawah. Lalu Rien minta di atas. Tiyar pun sukarela
menggeletakkan tubuhnya yang memang sudah
cukup letih. Lalu Rien mendominasi permainan
yang seperti tak pernah bisa dihentikan ini.
Berkali-kali wanita itu menjerit-jerit kecil,
menggigit bibirnya sendiri, meremas bahu Tiyar
di bawahnya, menjepitkan kedua pahanya yang
sudah basah kuyup oleh peluh mereka berdua.
Berkali-kali!
Barulah 95 menit kemudian, … mungkin lebih….,
mungkin dua jam kemudian…. keduanya
terhempas di pantai pencapaian bersama.
Tergeletaklah keduanya dengan nafas terengah-
engah dan wajah letih tetapi penuh kepuasan.
Kasur dan seprainya sudah awut-awutan
centang-perentang basah dan lengket pula di
sana-sini. Rien menelungkup di dada lover boy-
nya. Ia pejamkan mata dengan nikmat. Dan saat
itulah ia berpikir tentang sebuah gerakan kaki
untuk proyek tarian berikutnya, yang diberi judul
Untuk Langit Untuk Laut (For the Sky, For the Sea)
. Ia berpikir tentang sebuah gerakan menendang
sambil meregang, seperti ketika tadi ia menikmati
orgasmenya, entah yang keberapa!
*****
Nama Riendu terus mencuat di dunia panggung.
Setelah tariannya, orang mulai melirik
kemampuan aktingnya. Sebuah sinetron segera
dibuat untuknya dan Rien mendapat banyak sekali
uang untuk 12 episode. Baginya, sinetron ini juga
tidak terlalu baru karena kisahnya adalah tentang
seorang penari ronggeng di sebuah dukuh
terpencil. Rien sangat menyukai peran ini karena
ia juga bisa “memaksa” sutradaranya memakai
beberapa gerakan ciptaannya sendiri.
Hidup Rien mulai gemerlap dan sibuk. Tiyar
dengan setia berada di sampingnya, dan Rien
bersyukur memiliki pacar yang bisa disandarinya
kalau sedang capai, bisa diajak bercanda kalau
sedang gundah, dan bisa diajak bercinta kapan
saja!
Sinetronnya belum lagi ditayangkan, ketika pada
suatu malam di sela shooting seorang asistennya
datang membawa sebuah foto seorang anak dara
yang minta ditandatangani. Sambil menghirup
minuman dingin, dengan acuh tak acuh Rien
menerima foto itu dan bersiap-siap
membubuhkan tandatangan. Ia sudah siap untuk
ini: menjadi populer dan dikejar-kejar pemburu
tandatangan. Ia telah buat sebuah tandatangan
sederhana yang bisa digoreskan dalam satu
gerakan. Ia hampir tak pernah mengamati benda
yang ditandatangani. Kali ini pun ia siap
menggores, tetapi… sebentar dulu!
“Eh?!” Rien menjerit, tidak jadi menggoreskan
tandatangannya, matanya terpaku pada foto
gadis di tangannya. Ia kenal gadis itu. Nun di
sebuah kota kecil, ia pernah lihat gadis ini. Ia tak
pernah lupa matanya yang lembut dan wajahnya
yang manis-polos itu.
“Kenapa?” Tiyar menjulurkan kepala dari
sebelahnya, ikut memandangi foto itu.
“Aku rasanya kenal anak ini,” kata Rien sambil
mengernyitkan dahi.
“Itu foto anak SMA, ada sejuta yang seperti dia,”
kata Tiyar seenaknya.
“Justru itu. Aku kenal sewaktu anak ini masih
SMA. Sekarang pasti bukan SMA lagi,” kata Rien
sambil terus mengamati foto di tangannya.
“Orangnya ada di luar, Mbak,” kata sang asisten
yang berdiri patut di sebelah Rien, memberanikan
diri menyela.
“Kamu tahu namanya?” tanya Rien.
“Alma,” kata asistennya.
Tentu saja! sergah Rien dalam hati sambil bangkit
menarik tangan asistennya dan berkata, “Antar
saya ke anak itu!”
Di luar, Alma berdiri gelisah. Ia tidak yakin
tindakannya itu bijaksana. Ia memang bermaksud
meminta tandatangan sambil mencoba mengadu
untung, siapa tahu Mbak Rien masih ingat. Ketika
Alma melihat Mbak Rien keluar dari sebuah tenda
tempat para artis beristirahat, gadis itu hampir tak
mengenalinya lagi. Maklumlah, wanita penari
yang cantik itu kini semakin jelita dengan pakaian
yang “wah” dan dengan aura yang penuh
kharisma. Baru setelah dekat, Alma sadar ia
berhadapan dengan Dang Hyang itu, dan lututnya
lemas. Lidahnya kelu.
“Hai!” seru Rien riang melihat Alma berdiri
terpaku. Ia tidak bisa lupa gadis ini, walau
sekarang tampak agak kurus.
“Mbak Rien?” ucap Alma ragu-ragu.
“Ya! Apa kabar kamu, Alma!” seru Rien dengan
riang. Tiyar yang melongok dari tenda sempat
terheran, tetapi lalu masuk lagi.
Mereka berpelukan, walau Alma sempat kikuk
menyambut rentangan tangan seorang bintang.
Sedangkan Rien sendiri tanpa canggung
menempelkan pipinya ke pipi gadis itu. Kurus
sekali dia, pikir Rien sambil membayangkan
seorang anak SMA dengan seragam putih abu-
abu.
“Mbak tidak lupa kepada saya…,” bisik Alma
seperti mau menangis. Sesungguhnya ia terharu
diterima seperti ini oleh seseorang yang fotonya
menghiasi sampul majalah wanita di seluruh
Indonesia.
Rien tertawa sambil mencengkram erat bahu
Alma, “Tidak! Mana mungkin Mbak lupa sama cah
ayu seperti ini.”
Pipi Alma merona merah, dan sambil tersipu
berkata, “Ah, bisa aja, Mbak!”
Hmm…, logatnya sudah seperti anak
metropolitan, pikir Rien. Ia lalu menarik Alma
untuk ikut masuk ke tenda para artis. Dengan
canggung gadis itu mengikutinya. Ia seperti
sedang bermimpi, melihat dari dekat para artis
yang sedang shooting!
Lalu mereka bercakap-cakap panjang lebar.
Terutama Rien yang memberondong dengan
pertanyaan-pertanyaan, dan Alma menjawab
polos betapa ia kini sudah berpraktek dengan
mayat-mayat di rumah sakit, sudah pandai
membersihkan nanah dari borok-borok di kaki
pasien miskin dan para gembel, sudah pernah
melihat darah tumpah ruah dari seorang ibu yang
mengalami perdarahan…
“Astaga!… Anak sehalus ini akan menjadi tukang
bedah perut orang?” seru Rien sambil tertawa
riang. Tiyar ikut tertawa, dan berkomentar, “Asal
jangan meninggalkan guntingnya di dalam!”
Alma ikut tertawa, agak lega karena ternyata para
bintang itu manusia juga. Bisa bercanda dan
tertawa seenaknya. Pastilah mereka makan nasi,
dan sekali-kali pasti juga makan tempe, pikir Alma
sambil melanjutkan tawanya dalam hati.
Lalu mereka bernostalgia tentang kota kecil nun di
sana. Tentang pasar yang satu-satunya, dan
tentang stasiun bis kota yang hanya ramai di
akhir pekan. Kemudian juga tentang anak-anak
peserta sanggar yang kata Alma sekarang sudah
berpencaran. Ada yang jadi pegawai bank, ada
yang jadi pramugari, ada yang kawin dengan
juragan perahu. Tak satu pun yang jadi penari! …
Rien tertawa gelak mendengar yang terakhir ini.
“Bagaimana kabar Kino?” tiba-tiba saja keluar
pertanyaan itu dari mulut Rien yang sedang
tertawa. Dan begitu kata-kata itu keluar dari
mulutnya, begitu pula Rien tersadar. Tawanya
berhenti. Eh, mengapa aku bertanya tentang dia?
sergah hati kecilnya.
Alma ikut terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia
tidak siap menjawabnya, karena ia pun tidak tahu
kabar pemuda yang sempat mengisi relung-
relung terdalam hatinya. Sekarang ia sulit sekali
masuk ke relung-relung itu; sulit menemukan
apakah nama pemuda bermata lembut yang
selalu gundah itu tetap tergores di dinding
hatinya.
“Maaf,” kata Rien melihat gadis di depannya
terpana tak bisa menjawab. Ah, tetapi apa
perlunya minta maaf? sergah hati kecilnya lagi.
“Saya juga tidak tahu, Mbak. Maaf juga,” ucap
Alma memelas, tetapi justru tampak lucu. Rien
pun segera tergelak untuk mencairkan suasana.
Sudahlah, kata hati kecilnya, hentikan pertanyaan
tentang pemuda itu.
“Ya, sudah! Kita ngomong yang lain saja,” kata
Rien ringan di antara tawanya.
Lalu celoteh mereka berdua berlanjut. Tiyar pun
merasa tersingkirkan, dan sambil bersungut
pemuda itu meraih sebuah minuman dingin dan
berlalu ke arah beberapa kru film yang sedang
duduk-duduk main kartu remi.
Kalau saja shooting tidak segera dimulai, mungkin
mereka akan bicara sampai berjam-jam lagi.
Namun sutradara akhirnya berteriak, orang-orang
segera berkemas, Rien pun siap dibedaki dan di-
brief untuk adegan berikutnya. Alma tahu diri. Dia
segera pamit sambil memohon untuk boleh
menemui Rien lagi di lain waktu. Rien tersenyum
manis sambil mengangguk, lalu memberikan
nomor telepon pribadinya. Alma segera
mencatatnya, lalu segera meninggalkan wilayah
shooting. Tak sedikit pun ia ingat bahwa fotonya
belum lagi ditandatangani!


Adult | GO HOME | Exit
1/766
U-ON

inc Powered by Xtgem.com